ArenaBetting.com dukung fair play FIFA world cup AFSEL 2010

Rabu, 23 Juni 2010

Cerita Sedih Di Balik Jabulani (Bola Resmi Piala Dunia 2010)

ArenaBetting.com dukung fair play FIFA world cup AFSEL 2010-

Jabulani, tentu nama ini tidak asing di telinga anda. Ya, dia adalah nama bola yang ditendang ke sana-ke mari di ajang Piala Dunia 2010. Kadang bola ini licin untuk ditangkap oleh penjaga gawang, membawa malapetaka bila masuk ke gawang. Bola ini dipuja-puji karena mudah untuk membuahkan gol. Sialnya, tidak sedikit pula yang menjadikannya sebagai kambing hitam atas kekalahan sebuah kesebelasan.
Itu Jabulani ketika sudah lahir di lapangan hijau, di Afrika Selatan. Namun adakah yang tahu ketika Jabulani masih berada dalam kandungan di Cina, India dan Taiwan?
Beberapa hari sebelum Piala Dunia 2010 digelar, sepucuk surat mampir ke tangan Sepp Blatter. Pengirimnya adalah serikat buruh terbesar di dunia, International Trade Union Confederation (ITUC). Isinya memperlihatkan fakta adanya pelanggaran hak asasi manusia yang masih terus berlangsung dalam industri bola sepak. Surat itu sekaligus menagih komitmen FIFA, sebagai organisasi tertinggi sepakbola internasional, menghapuskan pelanggaran hak buruh dalam dunia sepakbola. Tentu saja ini terkait erat dengan pemantauan FIFA terhadap produsen bola sepak langganan Piala Dunia, Adidas.
Nasib buruh anak, si pembuat bola sepak
Dalam beberapa studi mengenai rantai produksi bola sepak, ditemukan kasus adanya buruh anak yang dipekerjakan dalam proses tersebut. Rantai ini bermula dari pemegang merk terkenal yang memberikan order ke pabrik besar di sebuah negara. Dari pabrik besar ini kemudian menyerahkan pengerjaannya ke pabrik-pabrik kecil. Dari pabrik kecil, pesanan mengalir ke calo di desa-desa. Tangan si calo inilah yang kemudian menurunkan order ke tingkat rumah tangga. Di dalam rumah, bola-bola bundar dikerjakan oleh seluruh anggota keluarga, termasuk anak mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Mereka tersebar di beberapa negara di Asia seperti India, Pakistan, Cina dan Thailand.
Proses pembuatan bola sebagian besar terdapat di desa-desa yang banyak terdapat industri rumah tangganya. Pesanan mereka terima dari tangan seoarang calo. Yang namanya calo sudah pasti tidak mau merugi, untung terus yang ada dalam otaknya. Akibatnya upah yang didapatkan para buruh anak ini jauh dari standar upah yang telah ditetapkan karena sebagian besar sudah masuk ke kantong si calo sebagai perantara.
Dilihat dari status kerjanya, para bocah bukanlah buruh yang berstatus tetap. Mereka adalah buruh borongan. Buruh dengan model seperti ini tidak mendapatkan perlindungan hukum bila hak mereka dilanggar. Ketiadaan perjanjian hitam di atas putih adalah penyebab dimana si calo tidak bisa dituntut bila suatu ketika ia ingkar janji dalam memenuhi hak si buruh anak. Tentu saja para makelar ini tidak akan membuat surat kontrak kerja karena dia tahu bahwa mempekerjakan buruh anak adalah pelanggaran terhadap undang-undang perburuhan.
Warisan adalah sesuatu yang bersifat turun-temurun atau setidaknya terkait dengan yang namanya keluarga. Begitu pula halnya dengan tangan-tangan mungil para pembuat bola. Seorang anak pada awalnya tidak pernah terlintas dalam pikirannya untuk menjadi seorang empu dalam membuat bola. Namun apa mau dikata, mereka harus melakukan rutinitas itu setiap harinya, selama bertahun-tahun. Maka tidaklah heran bila ada buruh anak yang telah menggeluti bola selama 9 tahun, tentunya bukan sebagai seorang pemain sepakbola.
Seorang kakak yang telah mahir membuat bola kemudian mewariskan ilmunya kepada sang adik. Selanjutnya bila dalam satu keluarga terdiri dari beberapa anak, maka terciptalah sebuah dinasti pembuat bola di desa tersebut. Lahirnya dinasti ini tidak terlepas dari sang ibu sebagai tangan pertama yang menerima pesanan dari calo bola. Dari tangan ibulah sang kakak menerima ilmu bola untuk ditularkan kepada adik-adiknya.
Karena setiap hari bekerja, maka banyak anak-anak yang putus sekolah akibat tidak ada waktu untuk belajar sehingga tidak naik kelas. Selain itu ada pula yang karena kondisi tekanan ekonomi, mereka harus rela meninggalkan bangku sekolah untuk bekerja sebagai pembuat bola. Kesadaran untuk bersekolah memang sangat kurang di tengah himpitan kemiskinan. Sampai-sampai seorang gurupun mempekerjakan para muridnya untuk membuat bola di sekolah informal di desanya.
Jam kerja yang dilakoni para bocah pembuat bola sangat panjang. Hari-harinya dilalui dengan bekerja di rumah selama 6-7 jam, bahkan lebih dari itu. Adalah hal yang menyenangkan bila bisa bekerja di rumah. Maka ada istilah Small Office Home Office (SOHO) yang menjadi idaman orang karena fleksibilitasnya. Namun bagi para buruh anak pembuat bola, kondisinya sangat jauh berbeda dari konsep bekerja rumahan versi modern.
Rutinitas yang harus dilalui selama berjam-jam mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan buruh anak. Mereka merasakan sakit pada jari-jari karena melakukan gerak yang sama berulang-ulang. Mata menjadi sakit dan kabur penglihatannya akibat bekerja dengan cahaya yang kurang. Seringkali didapati anak yang tubuhnya bongkok karena duduk terlalu lama tanpa diselingi peregangan. Sakit ini menjadi warisan yang lain karena harus mereka tanggung seumur hidup karena ketidaksanggupan berobat akibat biayanya yang mahal.
Jabulani?
Apa yang sesungguhnya terjadi pada Jabulani masih diliputi misteri. Tapi satu hal yang pasti, si pemegang merk masih mempunyai utang sosial bagi anak-anak yang dipekerjakan dalam rantai produksi bola-bola mereka sebelumnya.
Jabulani seharusnya mendatangkan keceriaan bagi tangan-tangan mungil yang menyentuhnya, bukan kebinasaan. Semoga Jebulane selalu terpancar pada sinar mata anak-anak di manapun mereka berada, di Indonesia, Asia dan seluruh dunia!
Acuan tulisan: International Labour Rights Forum, Global March, Bachpan Bachao Andolan.
Karikatur: Vikram
Foto: Jabulaniball.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails

My Statistic